23 February 2008

Siapa Bilang Berobat Mahal?

Mungkin anda tersenyum membaca judul di atas? Yup, benar sekali! Siapa yang bilang berobat itu mahal? Sejujurnya, hati saya juga miris saat menentukan judul itu. Karena pada kenyataannya, jarang ada biaya berobat yang murah, apalagi gratis. Jangankan anda yang mungkin jauh dari dunia kesehatan, saya yang lulusan dari sekolah Departemen Kesehatan aja, masih harus membayar “mahal” atas jaminan kesehatan yang saya inginkan. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang menginginkan sakit, namun bila sakit itu dating, kita wajib berusaha mencari penyembuhannya, walaupun tetap obat itu datangnya dari Tuhan.

Bagi anda yang mempunyai asuransi kesehatan, memang biaya akan terbantu oleh perusahaan asuransi anda, tetapi tetap kan, anda harus membayar premi setiap bulannya?

Bagi masyarakat yang tidak mampu, dibiayai oleh pemerintah dalam jaringan asuransi kesehatan pemerintah. Kemarin namanya “askeskin”. Untuk kita yang di golongan ekonomi menengah , maka biaya swadanalah yang kita andalkan.

Penyakit pun sekarang ada golongannya. Golongan rendah, yang biasa disebut oleh praktisi kesehatan sebagai “penyakit simptomatik”, merupakan penyakit yang diawali dengan munculnya gejala-gejala yang berakibat dari pertahanan tubuh yang meningkat, seperti, flu, demam, batuk. Biasanya kita cukup berkonsultasi dengan dokter umum atau puskesmas. Bisa diobati dengan obat-obatan yang dijual bebas, tanpa harus resep dokter (seperti golongan analgesic, antipiretik, antihistamin).. Namun, seperti box anjuran di bungkus obat-obat itu, bila dalam 3 hari atau lebih setelah obat dikonsumsi, gejala-gejala tersebut belum hilang, konsultasikan ke dokter. Karena mungkin, biang penyakit itu sudah tidak mempan dengan obat awal tadi, jadi diperlukan antibiotic untuk membunuhnya.

Tapi, mungkin karena kita yang semakin pintar dan “miskin”, ada kerancuan juga tentang antibiotic ini di masyarakat kita, sehingga ketika gejala awal mulai timbul, masyarakat umum sudah mulai mengkonsumsi obat Simptomatik sekaligus antibiotic (mungkin karena biaya konsultasi yang sudah “memahal”, dan tetap ujung-ujungnya obat yang diberikan itu-itu juga mereknya). Saya mempunyai pengalaman dengan hal ini. Ketika saya membeli vitamin di apotik, ada seorang ibu yang mencari antibiotic suatu merek berbentuk cair dengan membawa botol bekas obat tersebut. Ketika saya tanya, kenapa beli obat itu, sang ibu menjawab, kemaren yang dikasih dokter yang ini. Obat batuknya sih udah abis, tapi belum sembuh. Jadi saya beli lagi. Saya Tanya lagi, kok gak ke dokter dulu lagi bu? Akh, nanti juga obat ini lagi yang dikasih. Mending uangnya saya beli obat aja. Udah berobatnya mahal. Hati saya miris sekali. Padahal anaknya baru 2 tahun. Anehnya, sang penjaga apotik langsung saja memberikan obat yang diminta sang ibu. Wah, bisa gawat generasi mendatang.

Selanjutnya penyakit golongan menengah. Penyakit golongan ini tidak hanya telah menunjukkan gejala awal(simptomatik) tapi juga sudah mencapai stadium lanjut. Namun proses penyembuhan sampai tuntas sudah ada. Biasanya penyakit golongan ini didiagnosa melalui pemeriksaan laboratorium. Mulai penyakit anemia, gangguan hati, jantung, paru-paru, ginjal, kulit, kelamin, dan lain-lain yang memerlukan atensi dokter spesialis.

Makin tinggi penyakit, makin tinggi derajat dokternya, makin mahal harga yang akan dibayar. Ada persepsi, karena dokter umum rata-rata tamat 4-6 tahun, dokter spesialis 5-8 tahun, diatasnya, makin lama belajarnya makin mahal biaya sekolahnya. Setuju?

Di tingkat ini, bagi anda yang mampu membayar premi asuransi, akan sangat terbantu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang cukup memadai. Walaupun tidak semua penyakit dijamin untuk dirawat oleh pengelola asuransi kesehatan. Nah, untuk masyarakat golongan “bawah”, yang untuk kehidupan sehari-hari saja cukup-cukupan, bahkan cenderung tidak cukup untuk sekedar hidup, pasti sangat kesusahan untuk mengobati keluarganya.

Di beberapa daerah, ada kebijaksaan dari pemerintah setempat untuk membebaskan biaya pengobatan di tingkat puskesmas, sampai ke tingkat rumah sakit rujukan. Untuk penyakit golongan menengah yang membutuhkan penanganan dokter spesialis, disediakan “Surat Keterangan Tidak Mampu” dari masing-masing kelurahan, sehingga sang pasien golongan tidak mampu bias berobat gratis di rumah sakit daerah. Namun teteup, tidak semua pelayanan diberikan gratis.

Selanjutnya, penyakit golongan tinggi. Penyakit-penyakit golongan ini mempunyai ciri penyakit yang obatnya belum ada, misalnya HIV-AIDS, pengobatan yang butuh waktu lama dan intensif, misalnya tumor, kanker, penyakit wabah, seperti demam berdarah, flu burung. Untuk penyakit golongan ini, bagi masyarakat kita yang di “bawah”, akan membuat semangat berobat turun, ketika mendengar diagnosa dokter. Pasrah, bahkan cenderung menjadikannya “vonis”, dan langsung bertanya ke dokternya, “berapa lama lagi dok?”. Miris sekali, kan?

Khusus untuk penyakit kanker, saya punya pengalaman pribadi yang sangat membekas di hati saya. Hingga saat ini sudah 2 kerabat dekat saya yang didiagnosa mengidap penyakit yang mengerikan itu. Ketika saya diberitahukan dokter, penyakit kankernya sudah berada di stadium dua kanker leher rahim, saya lemah semangat. Bagaimana cara memberitahukan orang terkasih tentang hal ini. Berusaha tetap tenang, mencari informasi sebanyak-banyaknya, baik dari teman medis, artikel bahkan internet. Setelah data-data lengkap baru saya menjelaskan kepada keluarga tentang keadaan yang terjadi. Kami bukan berasal dari keluarga pegawai negeri sipil yang mempunyai asuransi kesehatan(askes), apalagi asuransi kesehatan swasta. Jadi saat itu saya bingung bagaimana mendapatkan perawatan terbaik untuk keluarga saya itu. Menurut dokter, kasus penyakit ini sudah tidak dapat dioperasi karena penyakit sudah menyebar sampai ke panggul. Pengobatan optimal dilakukan dengan kombinasi intensif radiotherapi dan kemotherapi. Sialnya, fasilitas radiotherapi yang ada di rumah sakit umum daerah saya yang ada 2 unit, rusak, tanpa ada kepastian kapan bisa bagus. Jadi harus ke Jakarta. Atau ke luar negeri. Kalau keluar negeri, menurut teman yang bekerja di jaringan kesehatan di negara tetangga (Malaysia dan Singapura), biaya perawatan (termasuk akomodasi) sekitar 50-200juta. Masya Allah, terus terang kondisi finansial saya tidak mampu. Akhirnya, setelah rembukan dengan seluruh keluarga, pasien diberangkatkan ke Jakarta. Dengan biaya seadanya. Dan alhamdulillah, dengan ijin Tuhan, setelah 6 bulan perawatan di pulau seberang, pasien pulang dengan kondisi yang sangat baik.

Memang, selain terapi yang dilakukan secara medis, pasien tersebut melakoni pengobatan alternatif, yang saya dapatkan dari internet. Dengan minuman herbal. Namanya mahkota dewa, oleh ibu Ning Hermanto, dan beberapa herbal lainnya dan pantangan-pantangan yang dapat memicu sel kanker. Selain itu, semangat hidup pasien juga harus dijaga. Karena perawatan penyakit ini cukup lama dan harus disiplin.

No comments: